Read Aloud the Text Content
This audio was created by Woord's Text to Speech service by content creators from all around the world.
Text Content or SSML code:
Wawancara Erwin Wilianto: Masa Depan Kucing Liar Indonesia Harus Diperjuangkan. Perhatian masyarakat terhadap konservasi kucing liar di Indonesia masih minim. Sebagian besar orang yang tahu jenis kucing liar hanya menyebut nama harimau atau macan. Padahal, Indonesia memiliki 11 jenis kucing liar. Namun, dua jenis telah punah yang artinya menyisakan 9 jenis. Sementara secara global, terdapat sekitar 40 jenis kucing liar. Erwin Wilianto, adalah satu dari sedikit orang yang memberikan perhatian terhadap pelestarian kucing liar di Indonesia. Dia merupakan founder Save Indonesian Nature & Threatened Species [SINTAS Indonesia] dan anggota Fishing Cat Conservation Alliance serta anggota Cat Specialist Group – IUCN SSC. Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancara Erwin Wilianto mengenai kondisi kucing liar dan ancamannya saat ini. Mongabay: Sejak kapan Anda fokus pada konservasi kucing liar di Indonesia? Erwin: Sejak 2003, saya sudah berkenalan dan merehabilitasi kucing-kucing berukuran kecil, terutama kucing hutan. Namun, passion saya masih tertuju pada kucing berukuran besar. Pada 2014, saya menyadari minimnya informasi jenis kucing kecil di Indonesia. Dari sini, saya mengenal kucing bakau, endemik Jawa. Lalu, saya memulai perjalanan lebih dalam ke konservasi kucing hutan di indonesia sampai sekarang. Namun sebenarnya di awal 1997, saya sudah mendengar Ekspedisi Harimau Jawa. Tahun 2000, bisa jadi ini titik awal saya terlibat pada kegiatan konservasi kucing liar, ketika ikut operasi SAR Mapagama [Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada] di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Di sini kami menemukan tiga jebakan macan dengan umpan bangkai lutung. Pada 2001, saya terlibat dalam tim pencari fakta harimau jawa, perannya sebagai tim analis feses dan temuan rambut, yang kemudian menjadi materi skripsi. Berikutnya pada 2008, saya bersama para praktisi coba menyusun SRAK [Strategi dan Rencana Aksi Konservasi] macan tutul dan membentuk Forum Konservasi Macan Tutul Jawa. Mongabay: Apa yang membedakan kucing domestik dengan kucing hutan? Erwin: Dari segi perilaku, kucing domestik sudah sangat terbiasa dengan manusia dan tidak punya sifat liar lagi; dalam artian sudah sangat familiar dengan manusia dibandingkan kucing-kucing yang ada di hutan. Kucing hutan mempunyai sifat elusif atau sulit ditemukan dan cenderung menghindari manusia. Mungkin dalam proses hidupnya, kucing hutan menganggap manusia perlu dihindari. Kucing domestik secara evolusi sudah beradaptasi dengan lingkungan manusia dan juga memakan makanan yang ada di sekitarnya. Sedangkan kucing hutan, memiliki spesifikasi makanan sendiri. Mongabay: Apa peran kucing liar dalam ekosistem? Erwin: Mereka utamanya memiliki peran sebagai predator, yang bisa berpengaruh pada populasi mangsanya agar tidak terjadi kelebihan [over] populasi. Namun, ada beberapa yang spesifik habitatnya di sekitar perairan seperti kucing bakau, yang memangsa adalah ikan-ikan dan juga krustasea, serta bisa menjadi indikator bahwa ekosistemnya masih bagus atau tidak. Jika di suatu lokasi ikannya tidak ada, sungainya tercemar, berarti kucingnya juga sudah tidak ada. Ikut Flora Fauna Wawancara Erwin Wilianto: Masa Depan Kucing Liar Indonesia Harus Diperjuangkan oleh Christopel Paino [Gorontalo] di 25 October 2023 Perhatian masyarakat terhadap konservasi kucing liar di Indonesia masih minimalis. Sebagian besar orang yang tahu jenis kucing liar hanyalah harimau atau macan. Padahal, Indonesia memiliki 11 jenis kucing liar. Namun, dua jenis telah punah yang artinya menyisakan 9 jenis. Sementara secara global, terdapat sekitar 40 jenis kucing liar di dunia. Dalam ekosistem, kucing liar berperan sebagai predator, yang bisa berpengaruh pada populasi mangsanya agar tidak terjadi kelebihan [over] populasi. Namun, ada beberapa yang spesifik habitatnya di sekitar perairan seperti kucing bakau, yang memangsa adalah ikan-ikan dan juga krustasea, serta bisa menjadi indikator bahwa ekosistemnya masih bagus atau tidak. Hampir semua jenis kucing, kecuali macan tutul dan harimau sumatera, sangat sedikit informasinya. Belum banyak penelitian yang memang spesifik menargetkan kucing-kucing kecil ini. Upaya dan intensitas yang kita lakukan harus besar dan tentunya berimbas pada sumber daya; baik anggaran ataupun tenaga. Perhatian masyarakat terhadap konservasi kucing liar di Indonesia masih minim. Sebagian besar orang yang tahu jenis kucing liar hanya menyebut nama harimau atau macan. Padahal, Indonesia memiliki 11 jenis kucing liar. Namun, dua jenis telah punah yang artinya menyisakan 9 jenis. Sementara secara global, terdapat sekitar 40 jenis kucing liar. Erwin Wilianto, adalah satu dari sedikit orang yang memberikan perhatian terhadap pelestarian kucing liar di Indonesia. Dia merupakan founder Save Indonesian Nature & Threatened Species [SINTAS Indonesia] dan anggota Fishing Cat Conservation Alliance serta anggota Cat Specialist Group – IUCN SSC. Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancara Erwin Wilianto mengenai kondisi kucing liar dan ancamannya saat ini. Kucing emas yang dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi. Foto: Shutterstock Mongabay: Sejak kapan Anda fokus pada konservasi kucing liar di Indonesia? Erwin: Sejak 2003, saya sudah berkenalan dan merehabilitasi kucing-kucing berukuran kecil, terutama kucing hutan. Namun, passion saya masih tertuju pada kucing berukuran besar. Pada 2014, saya menyadari minimnya informasi jenis kucing kecil di Indonesia. Dari sini, saya mengenal kucing bakau, endemik Jawa. Lalu, saya memulai perjalanan lebih dalam ke konservasi kucing hutan di indonesia sampai sekarang. Namun sebenarnya di awal 1997, saya sudah mendengar Ekspedisi Harimau Jawa. Tahun 2000, bisa jadi ini titik awal saya terlibat pada kegiatan konservasi kucing liar, ketika ikut operasi SAR Mapagama [Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada] di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Di sini kami menemukan tiga jebakan macan dengan umpan bangkai lutung. Pada 2001, saya terlibat dalam tim pencari fakta harimau jawa, perannya sebagai tim analis feses dan temuan rambut, yang kemudian menjadi materi skripsi. Berikutnya pada 2008, saya bersama para praktisi coba menyusun SRAK [Strategi dan Rencana Aksi Konservasi] macan tutul dan membentuk Forum Konservasi Macan Tutul Jawa. Kucing kuwuk atau kucing hutan yang terpantau di hutan Kurai Timur pada Februari 2023. Foto: Hadiyana/Ecositrop Mongabay: Apa yang membedakan kucing domestik dengan kucing hutan? Erwin: Dari segi perilaku, kucing domestik sudah sangat terbiasa dengan manusia dan tidak punya sifat liar lagi; dalam artian sudah sangat familiar dengan manusia dibandingkan kucing-kucing yang ada di hutan. Kucing hutan mempunyai sifat elusif atau sulit ditemukan dan cenderung menghindari manusia. Mungkin dalam proses hidupnya, kucing hutan menganggap manusia perlu dihindari. Kucing domestik secara evolusi sudah beradaptasi dengan lingkungan manusia dan juga memakan makanan yang ada di sekitarnya. Sedangkan kucing hutan, memiliki spesifikasi makanan sendiri. Kucing bakau atau yang dikenal juga dengan nama fishing cat. Foto: Kla Trey/Cambodian Fishing Cat Project Mongabay: Apa peran kucing liar dalam ekosistem? Erwin: Mereka utamanya memiliki peran sebagai predator, yang bisa berpengaruh pada populasi mangsanya agar tidak terjadi kelebihan [over] populasi. Namun, ada beberapa yang spesifik habitatnya di sekitar perairan seperti kucing bakau, yang memangsa adalah ikan-ikan dan juga krustasea, serta bisa menjadi indikator bahwa ekosistemnya masih bagus atau tidak. Jika di suatu lokasi ikannya tidak ada, sungainya tercemar, berarti kucingnya juga sudah tidak ada. Kucing tandang yang masih sedikit penelitiannya. Foto: Wikimedia Commons/Jim Sanderson/CC BY-SA 3.0 Mongabay: Di Indonesia ada 9 spesies kucing liar, bisa dijelaskan? Erwin: Ada kucing hutan [Prionailurus bengalensis], kucing emas [Catopuma temminckii], kucing batu [Pardofelis marmorata], kucing bakau [Prionailurus viverrinus], macan dahan [Neofelis diardii], kucing merah [Catopuma badia], kucing tandang [Prionailurus planiceps], serta harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan macan tutul [Panthera pardus melas]. Berbagai kucing ini tersebar spesifik di pulau-pulau tertentu. Namun, ada juga yang kosmopolit tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Uniknya, ketika menyebut kucing hutan atau kucing liar, di Indonesia sekarang ada dua subspesies; yang dulunya satu kemudian dipisahkan. Subspesies Kalimantan dan Sumatera [Prionalurus javanensis sumatranus] dipisahkan dari subspesies yang ada di Jawa [Prionailurus javanensis javanensis]. Saat ini, dengan banyaknya pemelihara kucing hutan, yang kurang memperhatikan asal usul satwa tersebut, bagi saya cukup mengkhawatirkan. Mongabay: Secara populasi bagaimana status kucing liar saat ini? Erwin: Itu yang menjadi kendala kita sekarang. Hampir semua jenis kucing, kecuali macan tutul dan harimau sumatera, sangat sedikit informasinya. Belum banyak penelitian yang memang spesifik menargetkan kucing-kucing kecil ini. Upaya dan intensitas yang kita lakukan harus besar dan tentunya berimbas pada sumber daya; baik anggaran ataupun tenaga. Di satu sisi kita “cenderung” mengidolakan harimau dan macan tutul, sehingga kucing-kucing ini tidak terlalu menjadi perhatian besar. Untuk itu, salah satu penerapan yang sering kita utamakan adalah umbrella spesies [spesies payung]. Artinya, kalau kita mengelola spesies besar seperti harimau, maka satwa kecil yang ada di dalam area jelajahnya juga akan aman. Namun, belum tentu juga begitu kondisinya. Belum tentu dengan mengelola harimau, maka kucing liar juga akan terlindungi, karena mereka mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan harimau itu sendiri.